arsitektur

| Kamis, 09 Oktober 2014

10 Arsitektur termegah peninggalan Belanda di Indonesia
1. LAWANG SEWU
image
Lawang Sewu merupakan sebuah gedung di Semarang, Jawa Tengah yang merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.         
    
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
image
angunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil)Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober – 19 Oktober 1945).
Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.

2. VILLA ISOLA
image
Villa Isola adalah bangunan villa yang terletak di kawasan pinggiran utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan menuju Lembang(Jln. Setiabudhi), gedung ini dipakai oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung, yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia-UPI). Villa Isola adalah salah satu bangunan bergaya arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung.
Villa Isola dibangun pada tahun 1933, milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty. Kemudian bangunan mewah yang dijadikan rumah tinggal ini dijual dan menjadi bagian dari Hotel Savoy Homann. Perkembangan selanjutnya, ia dijadikan Gedung IKIP (sekarang UPI) dan digunakan sebagai kantor rektorat.
image
Suatu publikasi khusus pada masa Hindia Belanda untuk villa ini ditulis oleh Ir. W. Leimei, seorang arsitek Belanda. Dalam publikasi ini, Leimei mengatakan bahwa di Batavia ketika urbanisasi mulai terjadi, banyak orang mendirikan villa di pinggiran kota dengan gaya arsitektur klasik tetapi selalu beradaptasi baik dengan alam dan ventilasi, jendela dan gang-gang yang berfungsi sebagai isolasi panas matahari. Hal ini juga dianut oleh Villa Isola di Bandung. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung ini sempat digunakan sebagai kediaman sementara Jendral Hitoshi Imamura saat menjelangPerjanjian Kalijati dengan Pemerintah terakhir Hindia Belanda di Kalijati, Subang, Maret 1942. Gedung ini dibangun atas rancangan arsitek Belanda yang bekerja di Hindia Belanda Charles Prosper Wolff Schoemaker.
3. GERBANG AMSTERDAM
image
Gerbang Amsterdam (Belanda: Amsterdamsche Poort) disebut juga Pinangpoort (Gerbang Pinang) atau Kasteelpoort adalah gerbang sisa peninggalan benteng VOC semasa J.P. Coen. Pada pertengahan abad ke-19, gerbang ini merupakan sisa satu-satunya dari benteng yang dihancurkan dan mulai ditinggalkan semasa gubernur Jenderal HW Daendels. Gerbang ini pernah mengalami beberapa kali pemugaran. Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750) pernah merenovasi benteng bagian selatan termasuk gerbang Amsterdam dengan gaya Rococo.
image
Kemudian, sepeninggal Daendels, gerbang ini dipugar pada kurun waktu antara 1830 dan 1840. Patung dewa Mars dan dewi Minervaditambahkan pada gerbang ini. Kedua patung itu kemudian hilang semasa pendudukan Jepang di Indonesia. Bangunan ini dihancurkan seiring dengan mulai beroperasinya trem kereta kuda April 1869 di kawasan tersebut. Lokasi saat ini gerbang tersebut berada di persimpangan Jalan Cengkeh (Prinsenstraat), Jalan Tongkol (Kasteelweg), dan Jalan Nelayan Timur (Amsterdamschegracht) sekarang. Dalam rencana revitalisasi Kota Tua, replika gerbang ini akan dibuat walaupun tidak diketahui apakah akan berada di tapak yang sama
4. MUSEUM BANK MANDIRI
image
Berdiri tanggal 2 Oktober 1998. Museum yang menempati area seluas 10.039 m2 ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.
Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dinasionalisasi pada tahun 1960 menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) pada 31 Desember 1968, gedung tersebut pun beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim), hingga akhirnya legal merger Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999), maka gedung tersebut pun menjadi asset Bank Mandiri.
5. MUSEUM NASIONAL
image
Cikal bakal museum ini lahir tahun 1778, tepatnya tanggal 24 April, pada saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. J.C.M. Radermacher, ketua perkumpulan, menyumbang sebuah gedung yang bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku dan benda-benda budaya yang nanti menjadi dasar untuk pendirian museum.
Di masa pemerintahan Inggris (1811-1816), Sir Thomas Stamford Raffles yang juga merupakan direktur dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen memerintahkan pembangunan gedung baru yang terletak di Jalan Majapahit No. 3. Gedung ini digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dahulu bernama “Societeit de Harmonie”.) Lokasi gedung ini sekarang menjadi bagian dari kompleks Sekretariat Negara.
6. MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK
image
Gedung yang dibangun pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Saat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun1944, tempat itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan selanjutnya untuk asrama militer TNI.
Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan itu dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi. Tahun 1973-1976, gedung tersebut digunakan untuk Kantor Walikota Jakarta Barat dan baru setelah itu diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto sebagai Balai Seni Rupa Jakarta.
Pada 1990 bangunan itu akhirnya digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
7. ISTANA BOGOR
image
Istana Bogor merupakan salah satu dari enam Istana Presiden Republik Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri dikarenakan aspek historis, kebudayaan, dan faunanya. Istana Bogor dahulu bernama Buitenzorg atau Sans Souci yang berarti “tanpa kekhawatiran”. Sejak tahun 1870 hingga 1942, Istana Bogor merupakan tempat kediaman resmi dari 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal Inggris. Istana Bogor dibangun pada bulan Agustus 1744 dan berbentuk tingkat tiga, dirancang oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff dari Belanda.
8. ISTANA MERDEKA JAKARTA
image
Istana yang awalnya bernama Istana Gambir, dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873. Istana yang diarsiteki Drossaers ini sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan.
9. GEDUNG SATE
image
Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat. Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.
10. Museum Benteng Vredeburg yogyakarta
image
Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangtn tahun 1765 oleh VOC di Yogyakarta selama masa kolonial VOC. Benteng ini dibangun oleh VOC sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda kala itu. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya dan di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah presiden.



4 komentarsistem sosial dan budaya indonesia
Share:
Pengaruh budaya barat Belanda Portugis serta Jepang atas kebudayaan Indonesia tidak dapat dihindari. Pengaruh barat terutama dari Portugis dan Belanda sudah bahkan sudah berlangsung sejak abad ke-16. Saat itu Indonesia, sebagai sebuah negara 'resmi' belumlah lagi berdiri. Indonesia saat itu masih dalam bentuk 'proto' yaitu kerajaan-kerajaan di zaman perdagangan nusantara. Tulisan ini akan mengetengahkan sejumlah 'kecil' pengaruh kebudayaan barat yang diwakili Portugis dan Belanda atas kebudayaan Indonesia. Selain itu, sebagai pembanding juga akan diketengahkan sejumlah pengaruh kebudayaan Jepang.

Pengaruh Belanda di Indonesia

Saat ini seringkali muncul stereotype bernada negatif atas budaya Barat. Di Indonesia, budaya Barat disebar seiring kekuasaan kolonial. Barat yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang melakukan kolonisasi atas kepulauan nusantara. Kendati demikian, terdapat pengaruh Barat tertentu yang terus membekas di dalam struktur kebudayaan Indonesia hingga kini. Misalnya sistem pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu komponen nonmaterial kebudayaan yang punya peran signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan, mekanisme administratif pemerintahan Belanda juga punya pengaruh tersendiri atas pembentukan sistem sosial (politik) Indonesia.

Bangsa Barat utama yang pengaruhnya cukup membekas adalah Portugis dan Belanda. Terutama Belanda, budaya kedua bangsa ini sebagian terserap ke dalam struktur budaya Indonesia. Namun, sisa-sisa pengaruh ini kurang begitu kuat mempengaruhi benak kesadaran orang Indonesia, mungkin akibat perbedaan blue print manusianya (barat versus timur). Budaya Barat, sesuai namanya, merupakan produk perkembangan di bilangan barat dunia yang menekankan individualitas dan kebebasan. Sementara Indonesia merupakan bagian bangsa timur yang menghendaki harmoni, komando, dan kolektivitas.

Koentjaraningrat mencatat, pengaruh budaya barat atas Indonesia diawali aktivitas perdagangan Portugis paruh pertama abad ke-16.[1] Tahun 1511 Portugis menaklukan Malaka, pelabuhan dagang di barat kepulauan Indonesia. Penaklukan membuat Portugis mampu mengendalikan aspek-aspek penting kehidupan masyarakat di sana. Tatkala penaklukan terjadi, Islam tengah tumbuh sebagai agama dan budaya baru nusantara. Tidak perlu waktu lama, Islam berangsur jadi agama dominan di kepulauan Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap digeneralisasi menjadi konflik Barat versus Islam. Konflik bahkan masih terus berlangsung hingga tulisan ini dibuat.

Tahun 1641 orang Belanda merebut Malaka dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619 mereka sudah membangun benteng kuat di Batavia saat menguasai Banten, pelabuhan dagang nusantara lain yang penting. Tahun 1755, VOC mengadakan perjanjian Gianti dengan Mataram Islam, kerajaan yang merupakan salah satu rival mereka dalam menguasai jalur dagang. Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegara. Tahun 1799, VOC (perusahaan swasta Belanda) bangkrut. Mulai tahun tersebut orang-orang Belanda mengatasnamakan Kerajaan Belanda dalam mengelola Indonesia.

Tahun 1824 Belanda menukar Singapura dengan Bengkulu. Singapura awalnya dikuasai Belanda dan Bengkulu oleh Inggris. Lokasi Bengkulu terisolasi di bagian selatan-barat pulau Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat usai Perang Paderi. Tahun 1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan Belanda, hanya setelah berpayah-payah menaklukan orang Batak Toba. Tahun 1894, Lombok masuk ke kekuasaan Belanda disusul Bali tahun 1906, lewat Perang Badung (Puputan Badung). Aceh terakhir masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada 1903 (atau 1905), setelah perang kurang lebih 30 tahun sejak 1873. Dari paparan ini tampak kekuasaan Belanda atas Indonesia berlangsung gradual. Wilayah yang satu dikuasai terlebih dulu ketimbang lainnya. Kendati demikian, tetap ada wilayah yang tidak terjamah kekuasaan kolonial Belanda.

Bernard H.M. Vlekke membagi pengaruh Belanda di nusantara ke dalam tiga bagian.[2] Pertama, di Sumatera dan Kalimantan pengaruh orang Eropa hampir tidak punya dampak pada kehidupan pribumi. Kedua, pengaruh di bagian timur kuat tetapi opresif. Ketiga, di Jawa di mana Belanda mampu mencengkeram hingga pedalaman dan menimbulkan perubahan struktur sosial serta ekonomi orang Indonesia.

Di Jawa, Maluku dan Sulawesi Utara berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama kaum buruh yang meninggalkan budaya tani untuk menjadi pelayan rumah tangga Eropa, tukang, atau buruh industri. Lapisan kedua kaum pegawai (priyayi) yang bekerja di belakang meja tulis dan harus menempuh pendidikan Belanda terlebih dahulu.[3] Lapisan ketiga, kelas menengah baru pribumi yang melakukan kegiatan dagang di bidang-bidang yang belum digarap pengusaha Cina (dan Asia lain) seperti rokok kretek, batik, tenun, ataupun kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial seperti ini belum ada di Indonesia sebelum pengaruh Belanda.

Pendidikan. Salah satu pengaruh peradaban Belanda atas struktur budaya Indonesia adalah pendidikan. Sistem pendidikan Belanda bersaing dengan sistem pendidikan lokal Indonesia yang umumnya berupa pecantrikan dan mandala. Juga, sekolah-sekolah Belanda mulai menyaingi pesantren, lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi Islam.

Sekolah, sebagai basis proses pendidikan formal Indonesia saat ini, merupakan wujud nyata membekasnya pengaruh Belanda. Peserta didik dibagi ke dalam lokal-lokal menurut rombongan belajar, di setiap kelas peserta didik duduk dalam beberapa banjar menghadap ke depan, dan guru berdiri di muka kelas selaku narasumber utama belajar. Ini serupa dengan struktur kelas di dalam gereja sejak masa skolastik Eropa. Namun, sistem persekolahan Belanda awalnya bersifat segregatif. Ada sekolah khusus Belanda dan Eropa seperti Europesche Lagere School (ELS), untuk Tionghoa semisal Hollands Chinese School, ataupun Indlansche School untuk pribumi.

Ciri umum sistem pendidikan Belanda adalah pembagian jenjang pendidikan berdasarkan tahun. Misalnya suatu jenjang pendidikan dasar ditempuh selama lima atau enam tahun dan lanjutannya selama tiga tahun. Selain itu, terdapat prasyarat usia sebelum seorang peserta didik dimasukkan ke jenjang pendidikan tertentu. Sistem pendidikan barat di Indonesia lebih serius digarap Belanda sejak abad ke-18 dan semakin tegas tatkala Politik Etis diberlakukan tahun 1911 lewat tokoh liberalnya, Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sekadar untuk menyediakan tenaga ahli yang murah untuk mengerjakan administrasi kolonial. Ini guna mengantisipasi meluasnya wilayah kekuasaan Belanda. Luasnya wilayah kelola tentu diiringi kerumitan serupa dalam tata administrasinya.[4]

Rumah Tinggal. Peninggalan budaya Belanda lain adalah rumah tinggal. Seperti diketahui, orang-orang Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di mana tanah dan material bangunannya cukup mahal. Selain orang biasa, konstruksi bangunan Belanda juga banyak dipakai oleh keluarga-keluarga priyayi Indonesia. Misalnya raja-raja Indonesia seperti di Banten dan Yogyakarta membangun rumah kediaman mereka serupa dengan konstruksi rumah-rumah Belanda. Bangunan Belanda kerap disebut puri Belanda, yang juga berfungsi sebagai basis pertahahan terakhir tatkala terjadi perang. Umumnya, gedung perkantoran Belanda di Indonesia dibangun bergaya Yunani-Romawi Kuno. Cirinya adalah bangunannya besar-besar, pilar besar dan tinggi di bagian depan, hiasan doria dan ionia dari Yunani.

Budaya Indis. Seputar pengaruh budaya Belanda, Djoko Sukiman menjelaskan terbitnya kebudayaan Indis. Indis adalah kebudayaan campuran antara budaya Belanda dengan Pribumi. Indis terutama berkembang di pulau Jawa antara abad ke-18 hingga 19. Kebudayaan Indis dapat diidentifikasi pada pelacakan pengaruh budaya Belanda atas tujuh unsur budaya universal (yang awalnya dimiliki kalangan pribumi) yaitu bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, matapencarian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi.[5] Namun, praktek budaya Indis lebih dialami masyarakat pribumi di Jawa, khususnya kalangan menengah ke atas.

Agama. Belanda merupakan rival Portugis dalam dominasi jalur-jalur dagang nusantara. Dominasi Portugis berhasil dipatahkan Belanda dengan merebut Malaka dari tangan mereka tahun 1611. Dominasi Portugis di Maluku juga beralih ke tangan Belanda tahun 1621, ketika Jan Pieterszoon Coen mendirikan pos perdagangan kumpeni (VOC) di Kepulauan Banda.

Naiknya dominasi Belanda membuat pergerakan misionaris Katolik Portugis tersendat untuk kemudian digantikan zending Protestan Belanda. Kekuatan pengaruh Katolik Portugis hanya tersisa di Flores dan Timor. Pengaruh Belanda di bidang agama terutama di Sumatera Utara (terutama di Tanah Batak), Sulawesi Utara (terutama di Manado dan Minahasa), Kepulauan Maluku (terutama di Ambon), Papua (termasuk Papua Barat), serta Sulawesi Tengah-Selatan (terutama Tana Toraja).

Pengaruh Portugis di Indonesia

Pengaruh Portugis di Indonesia berkisar antara pengaruh agama, kesenian (utamanya musik), ataupun bahasa. Selain bangunan, orang Portugis yang pernah datang membangun koloni ataupun sekadar transit dagang di Indonesia, juga mendirikan pemukiman. Ini misalnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang Portugis dan turunannya membentuk koloni. Kendati kini menipis jumlahnya, dari wilayah tersebut dikenal beberapa budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni musik Portugis.

Kampung Tugu. Masyarakat kampung Tugu lokasinya di daerah Semper, Koja, Jakarta Utara dan masih dapat ditemui hingga kini.[6] Penduduk awalnya berasal dari berbagai koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan Srilanka. Pada abad ke-17 mereka diboyong kolonial Belanda ke Batavia sebagai tawanan perang. Di Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis (sekarang Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta). Kemudian sebagian besar mereka pindah ke Kampung Tugu.

Kesenian. Victor Ganap menyatakan musik keroncong berasal dari musik Portugis abad ke-16 yang disebut fado, berasal dari istilah Latin yang berarti nasib.[7] Musik ini tadinya populer di lingkungan perkotaan Portugis (sekarang Portugal). Fado sendiri awalnya adalah nyanyian (mornas) yang dibawa para budak negro dari Cape Verde, Afrika Barat ke Portugis sejak abad ke-15.

Lambat-laun, fado berkembang menjadi lagu perkotaan dan pengiring tari-tarian. Tarian yang diiringi fado dipengaruhi budaya Islam yang dibawa bangsa Moor asal Afrika Utara saat menaklukan Selat Gibraltar di bawah pimpinan panglima Tariq ibn Ziyad pada abad ke-7 Masehi. Setelah dipengaruhi Islam, tarian tersebut dinamakan moresco. Moresco adalah tarian hiburan para elit Portugis yang biasanya dibawakan penari bangsa Moor.

Moresco di Portugis masa itu adalah kata yang digunakan untuk melukiskan seni yang dianggap bernafaskan keislaman. Lawannya adalah cafrinho, asal katanya kafr (kafir) yang digunakan untuk melukiskan seni yang dibawakan kaum creolis Portugis di Goa, India. Alat musik pengiring moresco adalah gitar kecil bernama cavaquinho yang dibawa para pelaut Portugis dalam penjelajahan dunia mereka. Ketika masuk Indonesia, alat musik tersebut digunakan untuk menyanyikan lagu pengiring tarian moresco. Karena suara yang dikeluarkan berbunyi crong-crong sehingga oleh orang Indonesia musik pengiring tarian tersebut kemudian dinamakan Keroncong. Musik Keroncong tetap hidup, dimainkan, dan memiliki penggemarnya di Indonesia hingga masa kini. Bahkan televisi nasional Indonesia (TVRI) menyiarkan acara khusus musik keroncong ini minimal satu kali dalam seminggunya. Ini belum termasuk radio-radio siaran swasta nasional yang membawakannya.

Paramita Rahayu Abdurachman – lewat salah satu penelitiannya – mencatat sekurang-kurangnya jejak peninggalan budaya Portugis yang masih membekas di bumi nusantara dapat ditelusuri di Jakarta, Maluku Utara, Maluku Tengah, Ambon, Solor dan Flores.[8] Di Jakarta, peninggalan budaya Portugis selain Keroncong adalah Tanjidor dan Ondel-ondel.

Dalam bahasa Portugis dikenal kata tanger yang artinya memainkan alat musik dan tangedor (lafalnya: tanjedor) yang artinya seorang yang memainkan alat musik snaar (tali) di luar ruangan.[9] Di Portugal, tangedores hingga saat ini ditampilkan untuk mengiringi pawai keagamaan setiap tanggal 24 Juni. Alat yang dipakai adalah tanbur Turki, tanbur sedang, seruling, dan berbagai terompet. Uniknya, pawai diikuti boneka-boneka besar yang selalu berpasangan (laki-laki dan perempuan), dibawakan dua orang di mana satu duduk di pundak dan satunya di bawah serupa dengan ondel-ondel Betawi masa lalu. Ondel-ondel ini bergerak menandak-nandak diiringi musik tanjidor. Abdurachman mencatat baik tanjidor maupun ondel-ondel sekarang sudah diIndonesiakan, karena pengiringannya sudah ditambah gamelan, gong, dan kécrék.

Bahasa. Beberapa kosa kata Indonesia diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini misalnya biola (viola), meja (mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura), pita (fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol (tolo), jendela (janela), algojo (algoz), bangku (banco), bantal (avental), bendera (bandeira), bolu (balo), boneka (boneca), armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, tinta, dan masih banyak lagi.

Agama. Denys Lombard menulis, umat Kristen tertua Indonesia adalah Katolik. Komunitas awal mereka terbangun di lokasi mana orang Portugis mendirikan gereja pertama mereka.[10] Tidak seperti Filipina atau Vietnam, jumlah orang Kristen Indonesia secara proporsional selalu minoritas. Tahun 1510, Portugis menguasai Goa (India). Di sana mereka dirikan pangkalan dagang, instalasi militer, dan pusat misi. Tahun 1511, mereka berhasil mencapai Malaka dan Nopember 1511, Portugis berangkat dari Malaka ke Maluku, tepatnya Kepulauan Banda. Mereka tiba tahun 1512. Saat Portugis datang, penduduk Banda telah menganut agama Islam.

Dari Banda, Portugis menuju Ternate. Di perjalanan, mereka singgah di Ambon, yang sebagian besar penduduknya juga sudah beragama Islam. Bahkan, di Maluku utara telah berkuasa sultan-sultan Islam di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan Ternate dan Tidore tidak menyukai cokolan Portugis di Malaka karena memutus jalur utama perdagangan saudagar Islam. Namun, tahun 1512 Portugis berhasil masuk lewat jalinan aliansi dagang dengan Abu Lais, sultan Ternate. Portugis menawarkan pembelian cengkeh dari Ternate dengan harga tinggi. Dari tawaran ini, Sultan berharap bisa menyaingi kemakmuran Tidore dan Jailolo, dua pesaingnya. Tidore dan Jailolo lalu membalas dengan menyekutui Spanyol yang hadir di Tidore tahun 1521.

Tanggal 24 Juni 1522 di Ternate dilakukan peletakan batu pertama benteng Portugis (dinamakan Sao Paulo), lengkap dengan upacara keagamaan Katolik. Pada masa pemerintahan Sultan Tabarija (1523 – 1535) terjadi pembaptisan pertama atas sangaji (kepala suku) wilayah Moro, Halmahera tahun 1534.[11] Misi di luar Halmahera diteruskan tahun 1546 setelah datangnya Fransiscus Xaverius. Komunitas Kristen yang dipengaruhi Portugis tersebar di Kepulauan Maluku dan daerah tertentu di Kepulauan Sunda Kecil (khususnya Nusa Tenggara Timur). Tidak lama setelah agama Katolik berkembang, Protestan masuk ke Indonesia lewat perantaraan Belanda.

Pengaruh Jepang di Indonesia

Penjajahan Jepang, seperti Inggris, masuk ke dalam kategori fase kolonial singkat. Kendati singkat, Jepang memiliki bekas peninggalan budaya yang terus digunakan (atau bermanfaat) bagi bangsa Indonesia di masa kemudian.

Struktur Masyarakat. Awalnya Indonesia hanya mengenal desa (atau dukuh) selaku susunan pemerintahan terkecil. Namun, seiring berkembangnya pemerintahan kolonial Jepang, struktur terkecil tersebut dibagi lebih lanjut ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil. Satuannya dinamakan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Sistem ini telah diaplikasikan di Jepang dengan nama Tonarigumi. Alasan pembentukan RT dan RW oleh Jepang demi kemudahan administrasi dan kontrol. Jadi, bukan seperti desa asli Indonesia yang tumbuh alami, tonarigumi digunakan sebagai upaya kendali dan mobilisasi Jepang atas penduduk Indonesia. Ironisnya, upaya ini justru dilestarikan pemerintah Indonesia. Hingga kini RT dan RW tetap dipertahankan selaku unit administratif terkecil sekaligus menunjukkan faedahnya bagi kemaslahatan koordinasi administrasi negara Indonesia modern.

Bahasa. Pendudukan Jepang, di samping berefek negatif, juga memiliki dampak positif dalam budaya bahasa. Segera setelah Jepang mengusir Belanda, segala hal berbau Belanda dan Barat dilarang di semua toko-toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan, dan papan-papan nama umum. Bahasa pengganti yang diperkenankan hanyalah Bahasa Indonesia dan Jepang. Kini mulailah bahasa Indonesia mengalami perkembangan pesat.[12] Terjadi revolusi sosial di mana budaya Belanda dijungkalkan oleh budaya Jepang dan Indonesia. Atas desakan tokoh-tokoh Indonesia, tahun 1943 Jepang mengizinkan berdirinya Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia yang pada akhirnya berhasil mengkodifikasi 7.000 istilah bahasa Indonesia modern (saat itu).

Kesenian. Demi alasan politik anti Barat-nya, Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Fungsi lembaga ini mewadahi aktivitas budayawan Indonesia agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang. Tanggal 29 Agustus 1942, lembaga ini mengadakan pameran karya pelukis lokal Indonesia seperti Basuki Abdoellah, Agus Djajasoeminta, Otto Djaja Soetara, Kartono Joedokoesoemo, dan Emiria Soenassa. Selain itu, ia juga memfasilitasi R. Koesbini dan Cornel Simanjuntak membentuk grup seni suara yang melahirkan lagu-lagu nasional Indonesia. Lahirlah lagu-lagu nasional Kalau Padi Menguning Lagi, Majulah Putra-Putri Indonesia, Tanah Tumpah Darahku. Keimin Bunka Shidosho juga memungkinkan Nur Sutan Iskandar melahirkan karyanya Tjinta Tanah Sutji, Karim Halim melahirkan Palawidja, atau Usmar Ismail dengan Angin Fudji. Seni drama karya budayawan Indonesia juga lahir seperti Api dan Tjitra (temanya pengabdian tanah air) karya Usmar Ismail, Taufan di atas Asia atau Intelek Istimewa karya Abu Hanifah.

Agustus 1943 Jepang membentuk Persatuan Aktris Film Indonesia (Persafi). Persafi mendorong artis-artis profesional dan amatir Indonesia bereksperimen dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Sandiwara, sebagai salah satu bentuk seni peran, juga berkembang di bawah pendudukan Jepang karena sebelum Perang Pasifik, pertunjukan sandiwara hampir tidak dikenal di Indonesia.

Militer. Langsung ataupun tidak langsung, Jepang membantu Indonesia (utamanya pemuda) membentuk semangat nasionalisme.[13] Jepang melakukan ini lewat tiga cara, yaitu: (1) Pengerahan pemuda; (2) Pembentukan organisasi semi-militer; dan (3) Pembentukan organisasi militer. Tentu saja, ketiga bentuk ini dimaksudkan demi kepentingan perang Jepang. Namun, efek sampingnya justru menguntungkan (bless in disguise) bagi Indonesia.

Pertama, Jepang menyasar kalangan muda Indonesia dari kota dan desa tanpa diskriminasi pendidikan (berpendidikan ataupun tidak, semua direkrut). Pemuda disasar Jepang karena usia produktifnya, giat, penuh semangat, dan idealis. Jepang mendidik para pemuda sebagai saudara muda. Mereka menanamkan nilai seishin (semangat) dan bushido (jiwa satria), dengan penekanan pada kesetiaan dan bakti kepada tuannya (Jepang). Para pemuda juga dididik kedisiplinan dan upaya psikologis memutus rasa rendah diri dan semangat budak. Organisasi bentukan Jepang untuk keperluan ini Barisan Pemuda Asia Raya di tingkat pusat (Jakarta) tanggal 11 Juni 1942 yang dipimpin dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Badan serupa juga dibentuk di daerah-daerah dengan nama Komite Penginsyafan Pemuda. Selain itu, Jepang juga membentuk Perserikatan Olahraga Pulau Jawa (Tai Iku Kai) tahun 1942, aktivasi kegiatan senam pagi di sekolah-sekolah, pelatihan baris-berbaris atas pelajar, serta pelatihan beladiri (sumo, kendo). Organisasi olahraga juga dibentuk dengan nama Gerakan Latihan Olahraga Organisasi Rakyat (Glora). Sudirman (pebulutangkis, namanya diabadikan jadi nama piala) adalah tokoh yang dihasilkan dari masa Jepang ini.

Kedua, Jepang membentuk organisasi semi militer seperti seinendan dan keibodan. Saat akhir kekuasaan Jepang, anggota seinendan mencapai sekitar 500.000 pemuda. Anggota seinendan harus berusia 14–22 tahun, muatan pendidikannya adalah pertahanan diri dan penyerangan. Dalam perang Asia Timur Raya, Seinendan digunakan Jepang sebagai barisan cadangan dengan tugas utama mengamankan garis belakang.

Keibodan adalah pembantu polisi. Tugas utamanya penjagaan lalu-lintas dan pengamanan desa. Anggota keibodan harus berusia 26–35 tahun. Jumlah pemuda Indonesia yang jadi anggota keibodan lebih dari 1.000.000 orang. Di Sumatera, keibodan disebut bogodan sementara di Kalimantan dinamakan borneo konan hokokudan. Baik seinendan maupun keibodan dibentuk Jepang hingga ke pelosok wilayah Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada pengorganisasian massa seperti pernah Jepang lakukan, bahkan Belanda pun tidak pernah bisa menyainginya.

Kaum perempuan tidak ketinggalan diorganisir Jepang lewat pembentukan fujinkai (himpunan perempuan). Perempuan keluar dari wilayah domestik menuju publik. Untuk gabung dengan fujinkai, perempuan harus berusia minimal 15 tahun. Fujinkai diberi pelatihan dasar militer (dengan fungsi utama mirip seinendan). Fujinkai mengadakan kursus dan ceramah seputar pentingnya menabung, meningkatkan kesehatan pribadi dan makanan, serta kepalangmerahan.

Jepang membentuk suishintai (barisan pelopor) saat mereka mulai banyak menderita kekalahan dalam front-front pertempuran. Suishintai dipimpin pergerakan nasionalis Indonesia seperti Sukarno, Oto Iskandar Dinata, dan Buntaran Martoatmojo. Tugas utama suishintai memperdalam kesadaran rakyat terhadap kewajibannya dan membangun persaudaraan seluruh rakyat. Jumlah anggota suishintai kira-kira 60.000 orang dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Suishintai juga bertugas melatih pemuda, mendengarkan pidato tokoh-tokoh nasionalis, dan mendiseminasi muatan pidato kepada orang lain. Ada juga kelompok suishintai istimewa yang jumlahnya 100 orang di antaranya Supeno, Dipa Nusantara Aidit, Djohar Nur, Asmara Hadi, Sidik Kertapati, dan Inu Kertapati.

Di masa Jepang juga dibentuk Hizbullah, organisasi semi-militer pemuda di bawah Masyumi. Pimpinan Hizbullah Zainal Arifin adalah tokoh Nahdlatul Ulama. Usia pemuda yang diterima 17–25 tahun dan belum berkeluarga. Hizbullah dimaksudkan sebagai cadangan Peta. Selain yang telah disebut, organisasi semi-militer Jepang lainnya adalah jibakutai dan gakutotai.

Ketiga, Jepang membentuk organisasi militer. Organisasi ini misalnya heiho yang fungsinya membantu prajurit Jepang dan langsung ditempatkan dalam organisasi militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Hingga berakhirnya pendudukan Jepang, tercatat jumlah heiho sebesar 42.000 orang. Bagi Jepang, heiho lebih terlatih dalam perang ketimbang Peta karena berada langsung di garis peperangan, baik memegang senjata anti pesawat terbang, tank, artileri medan, maupun mengemudi. Namun, tidak seperti Peta, tidak ada heiho yang menjadi perwira.

Peta awalnya diselenggarakan Seksi Khusus Bagian Intelijen Angkatan Darat ke-16 Jepang. Anggota Peta dilatih dalam seinen dojo (panti pelatihan pemuda). Perwira lulusan seinen dojo angkatan pertama di antaranya Umar Wirahadikusumah, Kemal Idris, R.A. Kosasih, dan Daan Mogot. Saat seinen dojo angkatan kedua berakhir, keluarlah perintah membentuk tentara Peta. Jenderal Besar Soeharto adalah perwira hasil didikan Peta, yang di masa hidupnya berhasil menjabat selaku presiden terlama Indonesia.

indonesiaKedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia mula-mula disambut baik oleh bangsa Indonesia, tetapi lama-kelamaan rakyat Indonesia mengadakan perlawanan karena sifat-sifat dan niat-niat jahat bangsa Eropa mulai terkuak dan diketahui oleh bangsa Indonesia.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia disebabkan orang-orang Barat ingin memaksakan monopoli perdagangan dan berusaha mencampuri urusan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Adapun perlawanan-perlawanan tersebut antara lain:
1) Perlawanan di Aceh terhadap Portugis
2) Ternate melawan Portugis
3) Perlawanan Mataram (Perlawanan Sultan Agung)  terhadap Belanda
4) Banten melawan VOC
5) Makassar melawan VOC
6) Perlawanan Diponegoro (1825–1830) terhadap Belanda
7) Perang Padri (1821–1837)

2. Perkembangan Agama Kristen di Indonesia

Sejak abad ke-15 Paus di Roma memberi tugas kepada misionaris bangsa Portugis dan Spanyol untuk menyebarkan agama Katholik. Kemudian bangsa Belanda pun tertarik untuk menyebarkan ajaran agama Kristen Protestan dengan mengirimkan para zending di negeri-negeri jajahannya.
1. Misionaris Portugis di Indonesia
Pada abad ke-16 kegiatan misionaris sangat aktif menyampaikan kabar Injil ke seluruh penjuru dunia dengan menumpang kapal pedagang Portugis dan Spanyol. Salah seorang misionaris yang bertugas di Indonesia terutama Maluku adalah Fransiscus Xaverius (1506–1552). Ia seorang Portugis yang membela rakyat yang tertindas oleh jajahan bangsa Portugis. Di kalangan pribumi ia dikenal kejujuran dan keikhlasannya membantu kesulitan rakyat. Ia menyebarkan ajaran agama Katholik dengan berkeliling ke kampung-kampung sambil membawa lonceng di tangan untuk mengumpulkan anak-anak dan orang dewasa untuk diajarkan agama Katholik.
Kegiatan misionaris Portugis tersebut berlangsung di Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, P ulau Siau, dan Sangir, kemudian menyebar ke Kalimantan dan Jawa Timur.
Penyebaran agama Katholik di Maluku menjadi tersendat setelah terbunuhnya Sultan Hairun yang menimbulkan kebencian rakyat terhadap semua orang Portugis. Setelah jatuhnya Maluku ke tangan Belanda, kegiatan misionaris surut dan diganti kegiatan zending Belanda yang menyebarkan agama Kristen Protestan.
2. Zending Belanda di Indonesia
Pada abad ke-17 gereja di negeri Belanda mengalami perubahan, agama Katholik yang semula menjadi agama resmi negara diganti dengan agama Kristen Protestan. Pemerintah Belanda melarang pelaksanaan ibadah agama Katholik di muka umum dan menerapkan anti Katholik, termasuk di tanah-tanah jajahannya.
VOC yang terbentuk tahun 1602 mendapat kekuasaan dan tanggung jawab memajukan agama. VOC mendukung penyebaran agama Kristen Protestan dengan semboyan “siapa punya negara, dia punya agama”, kemudian VOC menyuruh penganut agama Katholik untuk masuk agama Kristen Protestan. VOC turut membiayai pendirian sekolah-sekolah dan membiayai upaya menerjemahkan injil ke dalam bahasa setempat. Di balik itu para pendeta dijadikan alat VOC agar pendeta memuji-muji VOC dan tunduk dengan VOC. Hal tersebut ternyata sangat menurunkan citra para zending di mata rakyat, karena VOC tidak disukai rakyat.
Tokoh zending di Indonesia antara lain Ludwig Ingwer Nommensen, Sebastian Danckaerts, Adriaan Hulsebos, dan Hernius.
Kegiatan zending di Indonesia meliputi:
a. Menyebarkan agama Kristen Protestan di Maluku, Sangir, Talaud, Timor, Tapanuli, dan kota-kota besar di Jawa dan Sumatra.
b. Mendirikan Nederlands Zendeling Genootschap (NZG), yaitu perkumpulan pemberi kabar Injil Belanda yang berusaha menyebarkan agama Kristen Protestan, mendirikan wadah gereja bagi jemaat di Indonesia seperti Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Kristen Jawa (GKJ), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan mendirikan sekolah-sekolah yang menitikberatkan pada penyebaran agama Kristen Protestan.
3. Wilayah Persebaran Agama Nasrani di Indonesia pada Masa Kolonial
Saat VOC berkuasa, kegiatan misionaris Katholik terdesak oleh kegiatan zending Kristen Protestan, dan bertahan di Flores dan Timor. Namun sejak Daendels berkuasa, agama Katholik dan Kristen Protestan diberi hak sama, dan mulailah misionaris menyebarkan kembali agama Katholik terutama ke daerah-daerah yang belum terjangkau agama-agama lain.
Penyebaran agama Kristen Protestan di Maluku menjadi giat setelah didirikan Gereja Protestan Maluku (GPM) tanggal 6 September 1935. Organisasi GPM menampung penganut Kristen Protestan di seluruh Maluku dan Papua bagian selatan. Penyebaran agama Kristen menjangkau Sulawesi Utara di Manado, Tomohon, Pulau Siau, Pulau Sangir Talaud, Tondano, Minahasa, Luwu, Mamasa dan Poso, serta di Nusa Tenggara Timur yang meliputi Timor, Pulau Ende, Larantuka, Lewonama, dan Flores. Adapun persebaran agama Katholik di Jawa semula hanya berlangsung di Blambangan, Panarukan, Jawa Timur. Namun, kemudian menyebar ke wilayah barat, seperti Batavia, Semarang, dan Jogjakarta.
Agama Kristen Protestan di Jawa Timur berkembang di Mojowarno, Ngoro dekat Jombang. Di Jawa Tengah meliputi Magelang, Kebumen, Wonosobo, Cilacap, Ambarawa, Salatiga, Purworejo, Purbalingga, dan Banyumas. Di Jawa Barat pusat penyebaran agama Kristen terdapat di Bogor, Sukabumi, dan Lembang (Bandung). Di Sumatra Utara masyarakat Batak yang menganut agama Kristen berpusat di Angkola Sipirok, Tapanuli Selatan, Samosir, Sibolga, Buluh Hawar di Karo, Kabanjahe, Sirombu, dan kepulauan Nias. Kegiatan agama Kristen pada masyarakat Batak dipusatkan pada organisasi HKBP. Adapun di Kalimantan Selatan agama Kristen berkembang di Barito dan Kuala Kapuas. Di Kalimantan Barat umat Nasrani banyak terdapat di Pontianak. Di Kalimantan Timur banyak terdapat di Samarinda, Kalimantan Tengah di pemukiman masyarakat Dayak desa Perak dan Kapuas Kahayan.
Faktor-faktor penyebab sulitnya perkembangan agama Kristen di Indonesia pada waktu itu adalah:
a) Pada waktu itu agama Kristen dianggap identik dengan agama penjajah.
b) Pemerintah kolonial tidak menghargai prinsip persamaan derajat manusia.
c) Sebagian besar rakyat Indonesia telah menganut agama lain.
Oleh karena itulah upaya penyebaran dilakukan di daerah-daerah yang belum tersentuh agama lainnya. Juga dilakukan dengan mengadakan tindakan-tindakan kemanusiaan seperti mendirikan rumah sakit dan sekolah. Akhirnya berkat kerja keras kaum misionaris dan zending, agama Kristen dapat berkembang di Indonesia sampai sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲